Share this post on:

Kesatria Tanpa Kepala II

Penerjemah: Daffa The Choosen Undead

Raiden pertama kali bertemu Reaper ketika berada di unit tempatnya bertugas setengah tahun setelah dia masuk tentara. Hari saat teman terakhir yang masuk tentara bersama-sama telah mati.

Sebelum mendaftar masuk, Raiden diberi tempat mengungsi di Sektor 85, dalam sekolah asrama yang dikelola seorang wanita tua. Murid-murid satu-satunya adalah anak-anak yang tinggal di lingkungan itu, jadi asramanya digunakan untuk menyembunyikan dan melindungi anak-anak 86 sebanyak mungkin. Setelah lima tahun berlalu, seseorang rupanya melaporkan ke pihak berwajib, alhasil tentara-tentara datang dan membawa pergi semua anak-anak. Wanita tua itu terus berusaha, setulus-tulusnya memohon pengertian dan rasa keadilan mereka berkali-kali, tetapi permohonannya dijawab cibir dan cemooh.

Tanpa sedikit pun rasa bersalah di ekspresi mereka, para tentara menggiring anak-anak ke sebuah truk pengangkut ternak, lalu ingatan terakhir Raiden tentang wanita tua itu adalah ketika dia mengejar-ngejar truk, meneriaki para prajurit.

Dia belum pernah mendengar wanita itu menyumpah-nyumpah. Wanita tua terhormat dan tegas selalu sangat murka setiap kali Raiden dan anak-anak lain mencaci canda truk yang menjauh selagi wajah sang wanita marah dan air mata mengalir turun ke pipinya.

“Kuharap kalian semua terbakar di neraka, dasar bajingan kotor!”

Raiden ingat bayangan dirinya yang berjongkok di jalan dan suara ratapan tangis wanita itu sejelas sekarang seolah-olah mendengarnya.

Sang kapten yang menyandang nama Reaper itu lebih ceroboh dan aneh dari semua orang yang Raiden kenal. Dia tak pernah pergi berpatroli dan malah berkeliaran di reruntuhan yang bisa saja tempat bersembunyi Legion. Dia mengeluarkan perintah maju padahal radar tidak menandakan kemajuan musuh. Walaupun prediksinya begitu tepat tapi tetap saja menyeramkan, Raiden menganggap kecerobohannya sebagai tindakan bunuh diri.

Dia tak mampu menahan amarahnya. Teman-teman yang masuk tentara bersamanya berjuang sangat keras, namun balasan dari seluruh keberanian dan upaya mereka adalah kematian. Wanita tua itu telah melindungi Raiden dan anak-anak lain, meskipun dia bisa saja ditembak karena perbuatannya. Dan kapten idiot ini bersikeras beraksi demikian, seakan-akan dia tak peduli mereka semua mati—seolah dirinya sendiri tidak ambil pusing kalau dia mati.

Akhirnya kesabaran Raiden habis dan memukul kaptennya setelah setengah tahun bergabung dengan skuadron. Dia memukulnya saat mendebatkan patroli yang Shin terus-terusan tolak. Biarpun Raiden seharusnya lebih lembut, mengingat perbedaan fisik mereka, dia menghantam Shin yang waktu itu masih kecil, cukup kuat sampai menjatuhkannya. Dia meneriaki Shin yang tergeletak di tanah, untuk berhenti mempermainkan mereka, tetapi mata merah itu tetap tenang tak tergoyahkan.

“Salahku tidak menjelaskan, tapi tetap saja.”

Shin meludahkan darah di mulutnya sambil bangkit berdiri. Dia mengejutkannya terlihat terluka sedikit, gerakannya tidak sedikit pun melamban atau bimbang.

“Menurut pengalaman, tidak ada yang percaya padaku bahkan setelah kuberi tahu. Aku lelah buang-buang waktu.”

“Hah? Ngomongin apaan?”

“Nanti juga akan kukasih tahu …. Dan juga—”

Shin meninju tepat wajah Raiden. Tinju yang mengerahkan seluruh kekuatan tubuh kecilnya, serasa sangat sakit. Momentum ayunan dan transmisi kekuatan sempurna dalam tinjunya sampai-sampai Raiden terhempas tanpa daya ke lantai dengan kepala pening.

“Aku tidak pernah bilang kau boleh memukulku. Aku tidak tahu caranya menahan diri, tapi seandainya itu tak mengganggumu lagi, jangan ragu-ragu memukulku kapan saja.”

Marah mendengar tantangannya, Raiden menerjang lagi. Terus terang, Raiden kalah dalam pertarungan sepihak itu. Shin yang setahun lebih lama berperang, jauh lebih terbiasa dengan kekerasan dan mahir memanfaatkannya.

Raiden masih tidak tahan sama si songong itu, tapi kesannya terhadap Shin berubah sedikit. Ketika Theo mendengar ceritanya bertahun-tahun kemudian, dia mendesau jengkel dan bilang: latar cerita semacam itu pun takkan ada di komik anak-anak. Tapi sebetulnya, Theo-lah yang tidak mengerti. Shin kala itu kelihatan seakan menahan senyum, namun sialnya, kalau saja Raiden tahu isi kepala orang gila itu.

Hari setelah mereka bertarung, Shin berkata—lewat bibirnya yang memar-memar dan terluka—bahwa kelak dia akan menjelaskan segalanya. Lalu pada pengerahan selanjutnya, Raiden dapat mendengar ratapan para hantu. Tatkala itulah Raiden akhirnya tahu kenapa Shin sangat menentang patroli …. Mengapa anak laki-laki seusianya tak ada yang sama sepertinya.

Ω

 

Para anggota skuadron Spearhead tertidur lelap ketika malam datang. Raiden berbaring di tempat tidurnya namun belum tidur. Mendengar langkah kaki tenang di luar, dia minggat dari kasurnya. Melihat pintu terdekat dibiarkan terbuka, dia mendapati Shin berdiri dalam ruangan gelapnya, berjemur diterangi cahaya bulan biru-pasi.

“Tadi kau ngobrol sama seseorang?”

Dia melihatnya dari ruang ganti, Raiden pikir dia mendengar Shin berbicara dengan seseorang di kamar mandi. Shin hanya menatap Raiden dan mengangguk. Mata merah beku tanpa emosinya menutur tenang yang tak sesuai usianya dan sikap apatis yang tampak hampir tidak tergoyahkan.

“Dari mayor. Dia Beresonansi denganku sedikit lebih awal.”

“… dia beneran bersinkronisasi denganmu lagi. Aku kaget. Si gadis lebih berani dari anggapanku.”

Raiden sedikit terkesan. Tidak satu pun Handler pernah setuju Beresonansi dengan Shin setelah mendengar suara-suara tersebut. Matanya tertuju kepada leher Shin yang kini terekspos, letak bekas luka merah tunggal menggores merata di tenggorokannya. Raiden sudah tahu asal-usul bekas luka pemenggalan itu, termasuk dia yang mendapat kemampuan pendengaran para hantu sebagai efeknya.

Malamnya sunyi. Setidaknya, bagi Raiden demikian. Tetapi bagi Shin …. Bagi rekan-rekannya yang menderita sebab kemampuan mendengar tangisan para hantu, malam ini malam lain yang diisi ratapan dan erangan orang-orang mati. Tak ada yang sanggup mempertahankan tenangnya Shin yang menjadi sasaran siksaan tiada henti ini. Emosinya konstan dihantam dan dikikis, hingga pada akhirnya menjadi Reaper tanpa emosi, dingin, dan tidak berperasaan.

Mata merah sang Reaper memandang Raiden. Mata sewarna darah segar membekukan segalanya. Hatinya masih di medan perang, selalu di medan perang, dengan obsesif mencari-cari kepalanya di front nan jauh, ingin sekali merenggut kembali kepalanya yang telah hilang.

“Aku akan tidur. Kalau ada yang ingin dikatakan, katakan besok.”

“… ya, maaf.”

Bahkan setelah sedikit mengerahkan tenaga untuk menutup pintu tidak seimbang kemudian mendengar langkah kaki Raiden di lorong serta suara pipa ranjang berderit, Shin menetap di jendela, matanya masih melihat arah medan perang. Jikalau dia mendengar dengan seksama, dia dapat melihat gumam kawanan hantu di sisi lain malam gelap, bisikan mereka sebagaimana deburan debu bintang dari langit di atas. Rintihan dan teriakan mereka, erangan dan jeritannya.

Mengeluarkan kata-kata yang terdengar mekanis dan hanya berkonsentrasi pada itu, kesadarannya terfokus kepada tangisan jauh. Selama apa sejak kali terakhir dia mendengar suara yang selayaknya seorang pria berbicara kepadanya? Pasti delapan tahun. Dan kata-kata yang diucapkannya masih sama dari dahulu.

Setiap malam, dia mendengarnya, setiap waktu, memori itu dibangkitkan. Suara itu gentayangan di atasnya bagaikan bayangan nyata, tak membiarkannya lupa. Tekanan mengeras dalam tenggorokannya, mengancam hendak menghancurkan leher. Mata hitam itu disembunyikan kacamatanya, melotot dengan kebencian jelas. Sesak dan penderitaan ini—serta suara kakaknya, mendesak masuk ke telinganya dan murka.

Ada pada namamu. Tepat. Semuanya salahmu. Semuanya—segalanya adalah salahmu.

Suara serupa yang memanggilnya dari kejauhan. Selalu, semenjak hari itu pada lima tahun lampau ketika dia meninggal di sini, di sudut reruntuhan tertinggal pada front timur. Shin menyentuh kaca dingin dan berbisik, walaupun dia tahu kata-katanya takkan mencapai siapa pun.

“Tak lama lagi aku akan mendatangimu—Kakak.”

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments