Share this post on:

Tegakkan Keadilan Meski

Langit Akan Runtuh

Penerjemah: Kaldinzel

“Apa …?”

Awalnya, dia tidak paham maksud perkataan Shin. Semua orang, terbunuh? Tempat eksekusi?

“Apa maksudnya …?”

Namun mendadak Lena tersadar. Enam tahun lalu, dia menemui Prosesor bernama Rei. 86 berbaris menuju medan perang mengerikan ini dengan imbalan hak-hak sipil keluarga mereka dipulihkan. Tetapi waktu itu, kenapa adik Rei, Shin—yang haknya mestinya sudah dipulihkan lewat wajib militer Rei—berdiri di medan perang sekarang sebagai Prosesor? Sebagai 86? Prosesor lainnya pun sama. Setiap tahun, puluhan ribu rekrutan dikirim ke garis depan. Tetapi jika mereka masih dikirim, orang tua dan kakak-kakak mereka bagaimana?

“Mustahil—!”

“Bisa jadi, ya. Babi putih sialan itu tidak pernah berniat mengembalikan hak para 86 sedari awal.”

“Mereka mengimingi janji itu kemudian memeras habis hidup kami. Mereka para babi sialan. Makhluk manapun tidak ada yang serendah mereka.”

Lena tanpa sadar menggelng kepala. Barangkali mustahil dia menerimanya, dengan perasaan moralnya. Republik. Tanah air yang melahirkan dan membesarkannya. Apa pun yang terjadi, tidak mungkin sampai segitunya.

“Ini tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin—!”

Theo mendesah. Bukan menggugatnya, melainkan simpati pahit.

“Kami tidak menyalahkanmu dalam hal ini, tapi …. Kau sudah tinggal di Sektor 85 sejak perang dimulai. Pernah melihat seorang 86 di sana?”

“… ah—!”

Jumlah waktu yang harus dihabiskan 86 sebagai imbalan atas pemulihan hak-hak mereka adalah lima tahun. Walaupun para Prosesor gugur selama perang, penanugerahan keluarga mereka semestinya terjamin. Setelah sembilan tahun perang, para keluarga Prosesor-Prosesor yang gugur sepantasnya diizinkan pulang, tetapi dia belum pernah melihat mereka. Satu pun tidak. Lena bisa jadi menghabiskan seluruh hidupnya dalam Sektor Pertama, dari awal tempat itu jarang ditinggali Colorata, tetapi terlepas dari itu—tidak satu pun? Itu mustahil.

Kok bisa dia begitu tidak menyadarinya? Dia bingung.

Petunjuknya ada banyak. Rei dan Shin yang kakak-beradik. Para Prosesor yang baru anak-anak saat orang tua atau saudara-saudari mereka masuk tentara. Sektor Pertama yang cuma dihuni Alba. Dan dia melewatkan semua orang. Dari segala hal yang dilihatnya, dia masih meyakini infabilitas Republik, layaknya orang bodoh.

“Kebanyakan Prosesor tidak kesampaian akhir pengabdian mereka, jadi Republik tidak repot-repot memenuhi perjanjiannya, tak ada masalah. Masalahnya adalah kami, Penyandang Nama, orang-orang aneh yang tidak mati-mati dan selamat bertahun-tahun di medan perang. Misal kami hidup, artinya kami cukup pintar sampai tidak bisa mati, dan menurut para 86 lain, kami adalah pahlawan. Mereka boleh jadi tidak ingin kami menyulut pemberontakan.”

Suara Raiden tenang. Memang kedengaran marah kepada Republik, tetapi rasanya seakan-akan dia sekarang sudah bosan marah.

“Karena itulah mereka memindahkan Penyandang Nama menuju zona perang di front-front mereka. Mereka berharap kami mati di sana. Dan sebagian besarnya, bahkan Penyandang Nama piawai pun tidak selamat. Kemudian ada Prosesor seperti kami, yang beruntung dan punya keberanian untuk bertahap hidup walaupun menghadapi semuanya. Di sinilah segalanya berakhir. Unit pertahanan setiap distrik pertama front. Inilah tempat pembuangan akhir. Skuadron ini tempat pembuangan yang diperuntukkan para Penyandang Nama. Mereka dibuang ke sini dan dipaksa bertarung sampai mati. Bala bantuan takkan datang. Mereka hanya akan mengirim grup berikutnya seketika kami benar-benar musnah … ini garis akhir kami.”

Segala penyimpangannya membuat kepala Lena pening. Mereka bertarung bukan untuk mempertahankan sesuatu Mereka bertarung dan tahu akan dibunuh. Ini bahkan bukan wajib militer lagi. Melainkan genosida oleh musuh asing.

“T-tapi …”

Lena tergagap, menggenggam untaian harapan terakhir itu.

“Bagaimana seandainya kalian tetap bertahan …?”

“Ah. Ya, Ada banyak orang yang tidak tahu kapan mesti menyerah …. Dan untuk menyingkirkan mereka, misi terakhir kesepakatan mereka adalah operasi pengintaian khusus dengan tingkat keberhasilan atau kelangsungan hidup nol persen. Tidak seorang pun pernah kembali dari sana. Menurut para babi putih, anggapannya cuma menyingkirkan sampah yang bingung mau dimasukkan ke mana. Karena buat perayaan, tahu?”

“…”

Mereka dipaksa menuju medan perang dengan kematian nyaris pasti untuk membela pihak lain tanpa kompensasi apa pun. Andai mereka hidup terlalu lama, mereka disuruh bekerja sampai mati atau dikirim ke sebuah skuadron yang didesain untuk mati—dan sekalipun mereka bahkan selamat dari sana, mereka praktisnya diperintahkan mati.

Air mata murka menutupi penglihatannya. Marah kepada negerinya. Sedalam, sepenuh, separah apa korupnya negeri ini?  Dia ingat Theo dan Raiden seringkali komplain sebosan apa mereka. Lena ingat menanyakan Shin dia ingin melakukan apa ketika diberhentikan dan bagaimana Shin bilang dia tak pernah memikirkannya. Dari awal mereka tak punya masa depan. Tidak pernah punya masa depan tuk dinantikan. Mereka hanya mengeksekusi perintah yang ditandatangani sebelumnya, tanpa tahu kapan tanggalnya akan tiba.

“Kalian semua tahu …?”

“Ya. Maaf … Shin dan Raiden, kami semua …. Kami semua tak tahu bagaimana cara memberitahumu.”

“Sejak … kapan …?”

Suaranya sendiri terdengar hendak pecah. Kebalikannya, Kurena tak wajarnya menjawab seolah persoalan mudah.

“Kami tahu dari awal. Maksudku, kakakku, ibu Theo dan ayah, keluarga Shin …. Mereka semua pergi menuju medan perang, tetapi para babi putih tidak sekali pun menepati janji mereka …. Jadi kami semua tahu.”

“Tapi kalau sudah tahu—! Kenapa terus bertarung?! Kenapa tidak lari saja …?! Kenapa tidak coba balas dendam kepada Republik?!”

Mendengar teriakan Lena, Raiden menutup mata dan menyeringai.

“Mau lari ke mana, putri. Ada pasukan Legion di depan kami dan ladang ranjau serta meriam artileri di belakang. Memang, pemberontakan kedengarannya ide bagus, tapi … 86 terlalu lelah untuk melakukannya.”

Andaikan generasi orang tua mereka, mungkin saja bisa. Tapi mereka memprioritaskan jaminan keamanan dan kebebasan keluarga-keluarga mereka daripada menjatuhkan Republik, menuju medan perang untuk memastikannya. Bila tidak melakukan itu, keluarga-keluarga mereka dalam kamp-kamp konsentrasi di luar Gran Mule akan menjadi yang pertama kali dimusnahkan Legion. Tiada pilihan lain selain memegang teguh kata-kata manis Republik.

Dan sewaktu orang tua mereka mati, kakak-kakak mereka turun ke medan perang untuk membuktikan kesetiaan dan nilai mereka sebagai warga negara Republik. Mereka ingin membuktikannya, baik kepada diri sendiri dan Republik yang memperlakukan mereka bak sampah, bahwasanya mereka warga negara luhur yang mampu mengembalikan kehormatannya. Merekalah, dan bukan para babi putih yang menolak mempertahankan diri sendiri, merekalah warga negara Republik sejati. Tetapi Raiden dan orang-orang lain bahkan tak memilikinya.

Mereka sudah lama kehilangan keluarganya dan terlalu muda untuk mengingat waktu diangkut ke kamp-kamp konsentrasi atau hari-hari dihabiskannya dalam surga tanpa bahaya bernama Republik. Ingatan apa pun tentang hidup di kota-kota atau diperlakukan selayaknya manusia sudah terlalu jauh dan tak tergapai.

Satu-satunya kehidupan yang mereka tahu adalah seperti ternak dikelilingi kawat berduri serta ladang ranjau, satu-satunya Republik yang dikenal mereka hanyalah persekutor yang menggiring mereka ke dalam situasi ini. Mereka tidak tahu Republik yang mengklaim kebebasan dan kesetaraan, persaudaraan dan keadilan serta kemuliaan. Mereka sudah direndahkan hingga setara babi sebelum sempat mengembangkan kesadaran apa pun atau kebanggaan sebagai warga negaranya. Raiden dan 86 lain tak menganggap diri mereka sebagai warga negara Republik.

Mereka adalah 86—penduduk asli medan perang tempat hidup-mati mereka, dikepung musuh sampai hembusan napas terakhir. Inilah satu-satunya kehormatan yang mesti mereka buktikan. Mereka tak memedulikan Republik San Magnolia. Negara asing dihuni para babi yang tak mereka hiraukan jika habis terbakar.

“Terus … kenapa …?”

Mereka pun tidak wajib menjawab pertanyaan itu. Tetapi mereka jawab saja, sebab gadis ini. Gadis tolol yang melekat kepada mereka seberapa kali pun dia diteriaki, sebanyak apa dia ditendang, sesering apa menghadapi ratapan orang-orang mati gentayangan.

Barangkali setelah sekian lama, dia akhirnya menyerah dan mengundurkan diri.

Raiden membuka mulut untuk bicara seusai memastikan tidak ada keberatan karena rekan-rekannya terdiam.

“Sampai umurku dua belas tahun, nenek tua Alba ini melindungiku di Sektor Sembilan.”

“…? Apa …?”

“Shin dibesarkan seorang pastor yang tinggal di kamp konsentrasi setelah menolak dievakuasi, kau pun mendengar cerita Theo tentang kaptennya sebelumnya. Kami tahu bisa seburuk apa Alba. Kurena berurusan dengan Alba paling buruk yang bisa kau bayangkan. Tapi Anju dan Shin juga tahu 86 sama buruknya.”

Mereka tahu kebiadaban tercela kedua manusia dan kemuliaan paling bersinarnya.

“Di situlah kami putuskan. Sederhana, sungguh. Kami memutuskan ingin menjadi keduanya.”

Mereka akan berbaring di kokpit sempit itu lalu meraih surga. Dia boleh jadi melupakan doa-doa yang diajarkan wanita tua itu atau Tuhan yang dia yakini, namun dia masih ingat jelas bayangan menyedihkan nenek tua itu yang berlutut di tanah lalu sedih menangisi mereka.

“Sekiranya dendam ialah yang kami kejar, maka tidak sulit-sulit amat menunaikannya. Kami hanya perlu membiarkan Legion lewat …. Tentu, kami sendiri mati, tapi Republik hancur pula. Membayangkan para babi putih akhirnya mendapatkan yang datang kepada mereka …. Yah, menurutku, itu menarik.”

Rekan-rekan mereka di kamp-kamp konsentrasi pasti putus asa, namun mereka akan mati dalam beberapa tahun ke depan, entah bagaimana. Gelap mata kepada mereka karena memang sudah sia-sia adalah … sesuatu yang cuma dapat dilakukan para Prosesor.

“Tapi tetap saja, masih ada Alba yang tak pantas mati tanpa alasan, selain itu, repot-repot mati cuma buat balas dendam tidak ada manfaatnya.”

“…”

Lena rupanya tidak paham. Diamnya seakan bilang bahwa jika mereka menerimanya, maka biarlah. Raiden menahan tawa. Putri kecil ini betul-betul dibesarkan dengan baik dan idiot. Lena bisa jadi tidak pernah memikirkannya atau ingin membalas dendam kepada orang lain. Balas dendam dan kebencian tidak dapat begitu saja diselesaikan dengan membunuh siapa pun yang kau benci.

“Bukan balas dendam namanya kalau pihak lain dengan segenap jiwa raga belum menyesali semua perbuatan yang dilakukan mereka, berlutut dan meminta maaf padamu. Tatkala itulah kau membunuh mereka. Kalau tidak, lantas itu namanya bukan balas dendam …. Tapi setelah semua hal memalukan yang mereka lakukan, pemberontakan atau pembantaian takkan membuat babi-babi putih itu menyesali apa-apa. Kau mengalihkan pandangan dari kelemahan dan kebodohanmu sendiri, menaruh tanggung jawab pada orang lain, bertingkah macam korban tragis, kemudian mati sambil memohon tak bersalah …. Mana mungkin kami bakal serendah Republik. Yang perlu dilakukan hanyalah memberi makan ego narsis mereka.”

Tanpa sadar omongan Raiden mulai kasar. Seumpama ada satu hal yang tak bisa dimaafkan mereka, maka ada satu. Fakta Republik percaya dia tidak salah. Sebagaimana para tentara yang menghina wanita tua yang mengikuti hati nuraninya dan berperang melawan penindasan. Atau warga negara yang menutup mata dan menyumbat telinga mereka dari kenyataan perang, menutup diri dalam realitas rapuh dalam benteng berlapis mereka. Babi-babi putih yang merampas hak orang lain padahal tidak ingin memenuhi kewajiban sendiri dan dengan beraninya mengakui mereka benar lagi mulia tanpa sedikit pun rasa malu atas tindakannya. Mereka terlampau tidak sadar, sepenuhnya dan sama sekali buta terhadap kontradiksi mengerikan antara kata-kata dan tindakan mereka.

Mereka takkan, pernah berbuat layaknya Republik.

“Andaikan kami memperlakukan bajingan itu seperti mereka memperlakukan kami, maka kami bakal sama sampahnya. Andaikata harus memilih antara melawan Legion dan mati atau menyerah dan mati, kami mungkin sanggup bertarung dan bertahan selama mungkin. Kami takkan menyerah atau tersesat. Maka dari itu kami bertarung—itulah bukti bahwa kami ada …. Dan bila mana dalam prosesnya kami melindungi babi-babi putih, yah, tidak bisa bilang suka, tapi biarinlah.”

Mereka adalah 86. Orang-orang perang, diusir ke medan perang. Bertarung sampai seluruh kekuatan mereka runtuh dan hidup sepenuh hati sampai saat itu adalah kebanggaan mereka. Si gadis Handler menggigit bibir frustasi. Rasa darah, darah orang lain, menyebar di mulut Raiden.

“Bahkan sampai akhir pun … satu-satunya hal yang kau nantikan adalah kematian …?”

Suaranya terdengar ibarat menginginkan mereka menuntut balas dendam. Raiden tersenyum sedih mendengar perkataannya.

“Orang tolol kek apa yang diam saja hanya gara-gara tahu dia akan mati besok? Walaupun kau tak punya pilihan lain selain berjalan ke tiang gantungan, kau masih bisa memilih cara menaiki tangganya. Yang tersisa hanyalah hidup dengan itu.”

Justru sebab inilah mereka mampu menatap, menantang, kematian tak terhindari yang menunggu mereka.

Raiden berhenti di depan penutup hanggar yang terbuka, pandangannya tertuju pada siluet seorang pria dan kerangka besar Scavenger. Cahaya bulan biru menembus udara malam ketika bintang-bintang menerangi langit gelap dengan sinar tajamnya. Bintang-bintang dan bulan tanpa henti bercahaya; bahkan di malam kala seseorang meninggal, mereka berkilau anggun. Dunia ini tak indah untuk semua orang. Dunia ini senantiasa apatis terhadap keprihatinan individu manusia.

“Tidak apa. Kita tak punya banyak pilihan lain, sungguh. Terima kasih untuk hari ini.”

“… Pi.”

Raiden melihat bahu Fido melemas sedih harfiahnya merendahkan kaki depan) di kepergiannya, kemudian dia memanggil Shin.

“Apa soal Kino dan lainnya?”

“Ya …. Kita tidak menemukan bagian apa pun dari rig Chise. Sudah lama sejak kali terakhir aku mesti mencari-cari pengganti.”

“Pilih saja model pesawat yang dia kerjakan. Sayapnya kelihatan sempurna …. Tapi seriuslah, tidak tersisa apa-apa, ya? Pantaslah, karena dia langsung menghadapi seolongsongnya …”

Fido menghabiskan waktu lama sewaktu menjelajahi medan perang hari itu untuk mencari alumunium penanda kuburan untuk para almarhum. Menandai fragmen-fragmen ini sebagai target pencarian utama biarpun tugas ini tak ada hubungannya dengan tujuan awal merupakan kebiasaan Fido selama bertahun-tahun mengabdi kepada Reaper.

Raiden mendengar kisah kejadiannya dari Shin. Fragmen Tanda Pribadi pertama yang dibawa Fido untuk kokpit penuh kenangan Juggernaut tanpa nama Undertaker adalah seorang kesatria kerangka tanpa kepala menggenggam pedang pedang panjang. Mereka menemukan puing-puing unit tersebut di beberapa reruntuhan, dan Shin mengadopsinya, mengubah pedang ke sekop. Unit itu milik kakaknya serta Tanda Pribadinya juga milik kakaknya.

“Mungkin ini tidak mengganggumu, tapi aku katakan sajalah. Ini bukan salahmu.”

Kemampuan Shin memberitahunya posisi Legion tetapi tipenya tidak. Shin mampu menyimpulkannya sampai titik tertentu berdasarkan jumlah dan formasi mereka, namun tidak ketika bersembunyi jauh-jauh di antara banyak unit-unit lain, apalagi tipenya tak diketahui dan seratus persen baru yang sama sekali tak diketahui keberadaannya.

Shin sekilas melirik Raiden dan mengangkat bahu tanpa kata. Raiden kira mungkin tidak betul-betul mengganggu Shin, tapi tak apa. Memperkuat tekad dan mati di akhir proses, setelah semuanya, dan tanggung jawab orang-orang mati.

Mata merah jernih Shin menoleh dan menatap arah medan perang hari itu, kemudian Raiden ikut menatap satu arah pula. Kepala mereka masih fokus pada kejadian hari itu dan Legion tipe Artileri Jarak Jauh yang menembaki mereka.

“… kurasa mereka menembaki pangkalan sebelah, tapi entah kenapa, tidak melakukannya.”

“Artileri berat dirancang untuk menekan serangan atau menghancurkan target tertentu. Bukan untuk menembaki senjata lapis baja dan bukanlah sesuatu untuk menembak satu skuadron. Bisa jadi mereka buat untuk membombardir kota-kota dan benteng. Aku duga tembakan itu uji coba doang, dan mereka rasa boleh-boleh saja tembakannya membidik kita.”

Raiden cekikikan.

“Tembakannya menghabisi empat orang kita. Kita bakal kepanggang andaikata mereka terus menembak.”

“Apabila mereka menyelesaikannya, maka mereka akan menghancurkan lebih dari empat rig. Mereka akan meruntuhkan Republik. Tidak terlalu berarti untuk kita …. Tapi mayor tidak bisa membiarkannya. Dia, sih, yang harus memikirkan rencana.”

Bicara Shin tanpa emosi, tapi Raiden sedikit kaget. Shin sendiri tidak menyadarinya.

“… apa?”

“Gapapa.”

Raiden belum pernah mendengar Shin memikirkan seorang Handler sebelumnya.

“… apa pun masalahnya, meriam jarak jauh ini sama seperti Skorpion dalam artian memerlukan Unit Pengamat Jarak Jauh. Meriamnya sendiri kedengaran senyap.”

“Kau tahu?”

“Dari suaranya. Aku tahu kapan mereka bergerak menyerang kita …. Walaupun mungkin meriam itu takkan menembak lagi.”

“…?”

Shin balas menatap Raiden yang menatap Shin, kebingungan. Mengalihkan pandangan menuju langit medan perang nan jauh itu, mata Shin menyipit.

Dia menemukanku. Barangkali melihatnya lewat sensor optik Ameise yang berfungsi sebagai Unit Pengamat.”

“…! Kakakmu …?!”

Raiden membeku di tempat. Dia belum pernah melihatnya secara langsung, tapi beberapa kali pernah bertemu sepasukan Legion yang dipimpinnya. Dia adalah Gembala yang menggunakan strategi menakutkan, berhati dingin nan licik. Shin tersenyum tipis, menatap arah tempat kemungkinan si Gembala berada. Senyumannya bercampur rasa takut dan kecerobohan, senyuman iblis perang yang menari-nari di atas maut kematian. Tubuh kurusnya gemetar gembira, tanpa sadar, Shin mendekap dirinya, seolah-olah mencoba menghentikannya.

“Aku merasa dia berada di ujung distrik ini, sepertinya memerhatikanku juga. Kali berikutnya dia akan mendatangiku. Tidak mungkin dia bakal meledakkanku dari jauh. Cara itu terlalu tak berperasaan untuk mengakhiri semua ini.”

Raiden meringis, dicekam rasa takut dingin yang menembus. Rekan terpercaya yang selalu tenang kini tak terlihat sesosok pun. Kegilaan kronis mendidih telah menguasai sifat khas Shin. Dia mengincar kepala kakaknya. Kepala kakak sama yang sebelumnya pernah membunuhnya sekali. Mencari-cari Legion yang mencuri suara kakaknya seketika dia mati di reruntuhan front timur sana.

Sang Reaper tertawa. Laksana pedang. Ibarat kegilaan. Bagai pedang tua seram yang berkilauan, diiris dan diasah pertempuran tak terhitung jumlahnya, seakan-akan mengayun tuk mengambil hidup mangsanya.

“Ini hasil akhir terbaik yang bisa kuharapkan, tapi kalian bakal kedapatan apesnya …. Bagaimana keputusan kalian? Tahu kalian akan mati besok, apa mau bunuh diri hari ini?”

Raiden sendiri tersenyum tanpa rasa takut. Keganasan manusia serigala itu menyetarai Reaper. Dia binatang buas yang menggigit mati segala yang mengancamnya, terpaku pada hidup biadab dan ganas. Dia bisa melihat, dari sudut matanya, pesan hitung mundur di sisi lain hangar.

SERATUS DUA PULIH SEMBILAN HARI SAMPAI PENGABDIANKU BERAKHIR! JAYALAH SKUADRON SPEARHEAD!

Akhir pengabdian mereka berarti mati. Hitung mundur membahagiakan konyol ini terus berdetak sampai eksekusi mereka. Waktu yang tersisa pada hitungan mundur terhenti ini sebetulnya 32 hari. Meskipun hitung mundurnya sampai nol, mereka tetap bertarung dan menjalani hari itu.

“Kau kira ini candaan …? Kami bakal ngikut Reaper kita sampai akhir.”

Ω

 

“Waw .… Ya Allah …. Itu Republik banget …”

Ekspresi Annette tercengang seketika mendengar cerita Lena. Lena bilang tidak bagus membicarakannya di tempat yang bisa ditelinga orang, jadi mereka bicara di lab Annette. Teman Lena menyajikan kopi dalam cangkir bercorak kelinci hitam-putih, juga kue aneh warna setengah jingga dan ungu.

“Annette, tolonglah, kau harus membantuku. Kita tidak boleh membiarkannya …. Kita harus menghentikan ini.”

Annette dengan apatisnya terus menggigit biskuit, mata keperakannya menatap tajam Lena.

“Tepatnya kau ingin aku melakukan apa?”

Tatapan dingin dan kering, bagaikan penyihir yang hidup seribu tahun dan lelah tinggal di dunia.

“Pidato di TV? Bicara dengan atasan? Kau tahu itu takkan mengubah apa-apa. Kau bebas seberkehendak dan seidealistis apa pun, namun jikalau kata-kata indah sanggup membuat semua orang mengubah cara pikir mereka, dari awal semuanya takkan sampai sejauh ini. Kau sangat mengetahuinya.”

“Itu—”

“Hentikan sajalah. Kau tidak bisa melakukan apa-apa. Entah seberusaha apa, tidak akan ada artinya, jadi—”

“Hentikan, Annette!”

Lena memotongnya, tidak kuat menahannya lagi. Annette adalah teman berharganya, tetapi Lena pun tidak boleh membiarkannya mengatakan demikian.

“Hidup orang sedang dipertaruhkan. Kau tahu itu …. Berhenti terus menjadikan dirimu penjahat agar kau punya dalih untuk tak berbuat apa-apa. Hentikan ocehanmu.”

“Justru kau yang harus menghentikan ocehannya!”

Annette mendadak bangkit berdrii. Lena menelan ludah karena kaget. Semengancam itulah tatapan Annette.

“Hentikan sudah. Seriusan, hentikan—hentikan saja. Kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kita tak punya kekuatan untuk menyelamatkan orang-orang itu!”

“Annette …?”

“… dulu aku punya seorang teman.”

Teriakan Annette langsung melirih sampai menjadi gumaman. Suara lemah, tanpa daya seorang gadis yang didorong sepenuhnya dan seluruhnya hingga tak tahu mesti berbuat apa.

“Dia tinggal di rumah sebelah. Ayah kami masing-masing bekerja di universitas yang sama. Mereka berteman, aku suka bermain dengan anak laki-laki itu. Keluarga ibunya punya semacam kekuatan misterius, jadi ibu, anak, dan kakak laki-lakinya dapat merasakan perasaan satu sama lain, bahkan dari jauh.”

Ayah anak laki-laki itu adalah seorang ahli saraf dan peneliti cara operasi otak atas simpatinya kepada orang lain, demi menciptakan kecerdasan buatan yang dapat secara efektif berteman dengan orang-orang. Jadi sekalipun itu penelitian, tidak ada yang melakukan hal berbahaya. Mereka menggunakan sensor berbentuk mainan untuk berkomunikasi dari ruangan-ruangan berbeda, dan disebabkan eksperimennya perlu banyak percobaan, Annette nimbrung dan ingin turut mencoba juga. Ayah Annette akan mengumpulkan sukarelawan dari universitas untuk menciptakan kembali eksperimen-eksperimen ini, mereka semua berpartisipasi dan dibayar kredit tambahan serta makanan ringan ibu anak laki-laki itu. Hampir tidak ada hasilnya, tapi seru.

“Tapi semuanya berakhir ketika perang terjadi.”

Walaupun mereka baru masuk sekolah dasar, anak laki-laki itu berhenti sekolah. Seburuk itulah diskriminasi kepada Colorata. Annette dirundung di sekolah gara-gara berteman dengan noda. Suatu hari, Annette pulang dari sekolah, lalu anak laki-laki itu mengajaknya bermain, kemudian Annette mencercanya sambil marah-marah. Mereka mulai adu mulut, tidak mampu menahan kesalnya, dia memanggilnya noda.

Dia tampaknya tak tersinggung; dia hanya menatap bingung Annette sembari memasang ekspresi seorang anak yang tidak paham dia dipanggil apa. Biar begitu, Annette merinding, tersadar ada celah tak terbaiki di antara mereka, dan yang membentuknya adalah Annette. Gadis itu ketakutan.

Itulah sebabnya dia lakukan. Orang tuanya menyarankan untuk membiarkan keluarga teman-teman mereka berlindung di rumahnya. Ayah Annette tersiksa oleh ketakutan akan bahaya yang ‘kan menimpanya jikalau Tindakan belas kasih mereka ketahuan, jadi sang ayah menanyakan putrinya mereka mesti melakukan apa. Kemudian dia memberitahunya. Dia menyiku ayahnya yang barangkali mencari-cari dorongan penegasan akhir, persetujuan akhir tersebut … berlawanan.

Aku tidak peduli padanya. Aku tak mau dalam bahaya gara-gara dia.

Bocah itu dan keluarganya dibawa ke kamp konsentrasi keesokan harinya.

Annette yakin tidak bisa melakukan apa-apa, sedari awal tidak ada yang dapat dilakukan. Namun tetap saja, dia gemetaran seraya tertawa.

Demikianlah keadaannya, sebagaimana sepatutnya. Tetapi temanku ini … mengapa dia selalu melempar pandangan idealisnya kepadaku …?

“Kau tahu, Lena, kau boleh bertingkah seperti orang suci semaumu, tapi kau sama bersalahnya seperti kita semua …. Tahukah kau berapa banyak 86 yang harus kita bunuh untuk mengembangkan Perangkat RAID yang kau kenakan?”

“… tidak mungkin.”

Eksperimen manusia—

“Bagaimanapun fungsinya adalah menyiarkan kata-kata, jadi tidak masuk akal kalau eksperimennya menggunakan hewan. Fakta para 86 tidak dianggap manusia sangatlah berguna …. Mereka wajib menghasilkan hasil secepat mungkin, lantas mereka meneliti tanpa memerhatikan keselamatan subjek uji. Ayah adalah penanggung jawabnya.”

Kala itu ayahnya tidak bilang apa-apa, tetapi dia tahu segalanya dari catatan penelitian yang ditinggalkannya. Subjek uji tak terhitung jumlahnya mati sebab otak mereka terbakar, tidak sanggup menangani tegangnya percobaan. Karena semua orang dewasa dikirim ke medan perang, mereka kudu menggunakan anak-anak. 86 dipanggil nomor, yang artinya nama-nama mereka tidak pernah tercatat. Lantas tidak seorang pun—bahkan ayahnya—bisa tahu apakah anak-anak yang mati dalam keadaan paling mengerikan dalam laboratorium kamp-kamp konsentrasi adalah bocah itu.

“Kematian ayahku bukanlah insiden. Dia bunuh diri.”

Ayahnya sudah bilang berkali-kali, aku meninggalkan temanku dan menyebabkan penderitaan banyak orang. Lebih dari orang lain, aku layak mati menderita. Tingkat sinkronisasinya bukan tidak sengaja diatur maksimum. Dan Annette menganggap dirinya sama beraslah sebab meninggalkan anak laki-laki itu, sebab itulah dia melanjutkan penelitian ayahnya. Seketika diminta memeriksa hubungan Perangkat RAID dengan Handler yang bunuh diri, dia penasaran. Apa jadinya kalau aku minta mereka membawa Prosesor yang katanya faktor penyebab kasus-kasus bunuh diri ini? Annette ingin dia dibawa kemari, mengklaim dia adalah sampel berhaga, membuatnya tetap bertahan hingga perang berakhir. Memang betul, itu namanya kurungan, tapi setidaknya, satu orang selamat.

Dirinya sendiri yang berpikir seperti itu membuatnya takut, karena dia bahkan tidak mampu menyelamatkan temannya saat itu. Jadi ketika mendengar penolakan para bajingan di Transportasi, berkata kalau itu bukan pekerjaan mereka, dia sebetulnya lega. Nah, lihat? Aku sama sekali tidak bisa menyelamatkan siapa-siapa.

“Namun itu benar bagiku dan bagimu juga, Lena.”

Dia tertawa. Mengejek teman baik hati dan gobloknya yang masih tidak sanggup memahami dalamnya kejahatan manusia.

“Yang kau lakukan lebih buruk ketimbang tidak melakukan apa-apa. Campur tanganmu membuat mereka hidup lebih lama, karenanya mereka sekarang diperintahkan untuk mati. Seandainya mereka mati sesuai kehendak sendiri, mereka paling tidak bakal terbunuh tanpa disuruh, tapi karenamu, Komando harus terus maju dan memberikan perintah!” omel Annette.

Napas Lena tersangkut di tenggorokannya. Melihat wajah cantiknya mengkerut sedih membuat Annette gembira luar biasa, tetapi di waktu yang sama, dia diliputi kesedihan pahit.

Ah, tuh ‘kan, aku melakukannya.

Lagi-lagi melakukannya.

Annette mengambil gelasnya kemudian dibuang ke tempat sampah. Kapan mereka membeli mug ini bersama-sama lagi? Mereka memutuskan untuk mencocokkannya dan memilih bersama lalu dibungkus dibawa pulang.

Mereka mabok kopi pertama kalinya persis di ruangan ini.

Suara pecahnya porselen rapuh menggema di seluruh ruangan layaknya jeritan.

“Aku membencimu, Lena … aku tidak mau melihat wajahmu lagi.”

Ω

 

Sesudahnya, skuadron Spearhead dikirim menghadapi dua serangan mendadak lagi. Selama operasi itu, tiga Prosesor mati.

Dua kali, karena strategi pengerahan Legion jelas tak seperti sebelum-sebelumnya. Jenis strategi yang sama persis, berkepala dingin, licik, dan rumit seperti ketika tipe Artileri Jarak Jauh pertama kali digunakan. Shin bilang Gembala ada di sana. Ia belum keluar sejak pertempuran pertama melawan Artileri Jarak Jauh dan memerintah pasukannya dari belakang.

Selama kejadiannya, Lena tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak dapat menembak satu selongsong pun untuk mendukung atau membatalkan eksekusi mereka. Pada akhirnya, mereka mendapat perintah.

“Misi pengintaian jangka panjang menuju wilayah Legion—?!”

Lena berteriak, tidak bisa mempercayai isi pemberitahuan terminal informasinya. Partisipannya adalah semua Juggernaut aktif di unit pertahanan distrik pertama. Target pengintaiannya adalah koordinat area pinggiran yang akan mereka tuju. Misinya tak punya batas waktu. Setiap upaya mundur dari misi ini akan dianggap membelot, dan siapa pun yang melakukannya akan segera dieksekusi. Dalam hal ini, seluruh catatan target Resonansi Sensorik, catatan data mesin, juga catatan registrasi militer Republik akan dihapus. Setiap unit diberikan persediaan serta amunisi setara satu bulan.

… itu tidak masuk akal. Ini namanya bukan pengintaian. Misi pun bukan. Mereka diperintahkan maju ke wilayah musuh dan mati. Satu-satunya hal yang tak secara langsung diperintahkan adalah mereka mati sia-sia. Komando bahkan tidak berusaha menutup-nutupinya sebagai misi. Mereka takkan bertahan beberapa hari, apalagi satu bulan. Jumlah kelompok pengintai akan berkurang karena mereka terus-menerus menahan serangan demi serangan Legion sampai musnah sepenuhnya.

Setelah banyak pertempuran panjang tanpa arti ini, takdir akhir mereka adalah diabaikan di jantung medan perang dan mati. Terlebih lagi itu diizinkan. Republik memerintahkannya; inilah sifat sejatinya.

Lena menguatkan gigi sampai serasa kaki, Lena menendang kursi sambil bangkit berdiri.

“Kau memintaku untuk menarik kembali misi pengintaian, Lena?”

“Tolonglah, Paman Jérôme. Membiarkannya menjadi semakin keterlaluan tidak termaafkan.”

Lena menundukkan kepala rendah-rendah ke Karlstahl yang merupakan harapan terakhirnya. Dia sudah melakukan investigasi sembari mencoba mencari cara untuk membatalkan misi, tetapi rupanya, operasi keterlaluan ini nyatanya semacam tradisi yang telah ditegakkan, tanpa gangguan selama bertahun-tahun.

Bukan hanya skuadron Spearhead. Unit pertahanan pertama distrik pertama front selatan, skuadron Laser Edge. Unit pertahanan pertama distrik pertama front barat, skuadron Longbow. Unit pertahanan pertama distrik pertama front utara, skuadron Sledgehammer. Masing-masing dan semua unit-unit ini seluruh anggotanya hampir musnah selama lima bulan terakhir, dan perkara kejadian langka para penyintas, Republik telah mempersiapkan misi Pengintaian Khusus. Rasio kelangsungan hidupnya, apa pun skenarionya, selalu nol. 86 yang bertahan hingga akhir dikirim ke tempat pembuangan akhir tersebut untuk dimusnahkan—tatapan Karlstahl jatuh menuju dokumen di mejanya.

“… ini mengesankan. Biasanya, hanya satu dan paling banyak dua Juggernaut dikirim ke misi Pengintaian Khusus. Kaulah kasus pertama di mana kami punya cukup Prosesor sebesar pasukan peleton untuk dikerahkan, Lena. Bukannya sudah kubilang, bukan? Lakukan seminimal mungkin.”

“…”

Campur tanganmu membuat mereka hidup lebih lama.

Lena tersentak, komentar terakhir Annette terbesit di ingatannya. Sembari menggertak gigi, dia mulai ofensif.

“Tolonglah. Republik …. Kita tidak boleh berbuat dosa lagi.”

“…”

“Dan bila mana kesulsilaan serta keadilan manusia tidak cukup untuk menggertakkan hati siapa pun … maka mungkin kepentingan nasional negeri bisa? Mengeliminasi Prosesor terampil dan berpengalaman sangat merusak potensi perang negara dan keselamatan warganya. Paman Jérôme, semisal Anda menyampaikannya ke Dewan Ketahanan Nasional1 dan Hubungan Masyarakat2, Anda mungkin dapat—”

Ekspresi Karlstahl menyuram selagi mendengarkan kata-kata Lena dan dengan sama suramnya membuka mulut untuk menjawab.

“Tidak bisakah kau menganggap kalau pemerintahan Republik dan warganya secara diam-diam menyetujui bahwasanya pemusnahan 86 bermanfaat bagi kepentingan nasional Republik, dan militer Republik semata-mata bertindak berdasarkan kerbijakan itu?”

“Apa—?!”

Lena terperanjat. Mengabaikan seluruh konsep etiket, dia condong maju di atas meja antik.

“Maksud Anda apa?! Sesuai perkataan saya, ini merugikan baik Republik sendiri dan hati nuraninya—”

“Andaikan perang ini berakhir dan 86 selamat, Republik akan dikecam dan bertanggung jawab atas kompensasinya. Kita akan dimintai pertanggungjawaban atas kamp konsentrasi mereka, permintaan properti, wajib militer paksa. Segalanya. Kompensasi rampasan harta mereka yang dirampas dan reparasi saja membuat Republik mengeluarkan biaya sangat besar. Apa kau jujur berpikir warga sipil bersedia menerima kenaikan pajak yang terlibat?”

“… tapi itu …”

“Dan sekiranya salah satu negara tetangga masih eksis di luar sana, mereka akan tahu perbuatan kita terhadap sesama Colorata mereka. Kita bakal kehilangan muka dan martabat, lalu Republik akan dicap negara penindas …. Semua masalah ini akan terhindari jika kita memusnahkan 86.”

Napas Lena memendek, dia tidak bisa berhenti menggertakkan giginya. Shin mengatakan hal serupa.

“Karena itulah Anda tidak memperkenankan mereka mengumpulkan mayat atau menguburkan yang mati …!”

“Itu benar. Aku tambahkan tidak ada catatan atau kuburan untuk mereka yang meninggal di Gran Mule atau dalam kamp-kamp konsentrasi, juga semua file personel dari seluruh Prosesor mati yang disingkirkan. Begitu mereka dimusnahkan, kami membuatnya seolah-olah mereka tidak pernah ada. Kau tidak dapat menindas orang yang memang tak ada. Fakta apa pun yang mengancam infalibilitas Republik akan dianggap seakan-akan tak eksis.”

“… tidak percaya penduduk sipil bisa sebusuk ini …”

Karlstahl entah kenapa kelihatan sedih.

“Mereka diam-diam menyetujuinya, Lena. Sangat sedikit orang bermaksud agar hal ini terjadi, tapi hampir semua orang bersedia menutup mata terhadap kenyataan ini. Atau mungkin bisa kau terka mayoritas orang yang acuh tak acuh adalah pendukung kejadian ini …. Inilah hasil demokrasi yang sangat kita banggakan, Lena. Mayoritas warga sipil telah sepakat bahwa mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi kepada 86 selama mereka bisa memperoleh manfaat darinya. Dan tugas militer kitalah tuk mematuhi keputusan tersebut.”

Telapak tangan Lena menghantam meja. Suara hampa, tumpul terdengar di kantor.

“Demokrasi tidak membolehkan mayoritas memperlakukan minoritas sebagaimana inginnya mereka! Kebijakan nasional kita, nilai-nilai bendera lima warna, setara berlaku kepada semua orang, dan itulah dasar konstitusi kita! Bisa-bisanya berpura-pura menjadi Republik kalau bahkan mengikuti itu saja tidak bisa?!”

Sesaat, cahaya redup menyala di mata Karlstahl. Karena dia kesal kepada Lena dan amarah tanpa batas kepada sesuatu yang jauh, jauh lebih samar dan tak berbentuk.

“Konstitusi? Konstitusi itu tidak lebih dari selembar kertas jika tak seorang pun mengakui nilainya! Cara serupa tatkala permerintahan revolusioner menghukum Saint Magnolia, yang mereka lihat sebagai simbol belaka, dihukum penjara sampai mati setelah menggulingkan monarki!”

Teriakannya membuat napas Lena tercekat. Itu kali pertama Lena mendengarnya bicara semarah itu.

“Kau sebut ini barbarisme?! Oh iya, memang benar! Itulah yang kami dapatkan sebab memberikan massa bodoh apa pun yang diinginkan mereka! Mereka mengeksploitasi setiap hak yang dimilikinya tetapi menjauh dari tugas-tugas yang menyertainya; melanggar hak orang lain secara bebas; mereka binatang buas yang tidak memedulikan apa-apa selain keuntungan dan kesejahteraan pribadi, dan inilah yang kita dapatkan setelah membiarkan mereka memimpin! Orang-orang tolol malas tercela ini yang mencontoh nama Santo kemudian mengagumi segala yang dia perjuangkan dengan tindakan apa pun takkan menggapai apa-apa selain kejahatan!

Kemarahannya mendadak meletih, dan dia duduk di kursinya, mendesau sedih.

“Kebebasan dan kesetaraan adalah idealisme yang terlalu dini untuk kita, Lena. Untuk kita, untuk semua manusia …. Dan barangkali akan senantiasa demikian.”

Mata serba emosi, Lena memandang rendah pria yang dulu dia kagumi sebagai ayah kedua. Dia tak punya cara lain untuk menahan cibir dan hinaan yang menumpuk dari lubuk hatinya.

“Itu hanya keputusasaan dan dalih Anda untuk membenarkannya …. Duduk diam dan terus membiarkan banyak orang mati adalah kesalahan.”

Pandangan Karlstahl naik dan menatap Lena. Pandangan tua, perak, pasrahnya.

“Dan kau hanya menyuruh berharap, namun harapan tidak bisa menyelamatkan apa-apa. Tidak pula idealisme. Idealisme itu berharga karena tidak terjangkau, dan karena tak terjangkau, maka tidak bisa memengaruhi kita. Harapan dan idealisme tidak dapat mendorong tindakan seorang pun …. Bukankah itu alasanmu datang padaku?”

Lena menggertak gigi pahit. Pamannya benar, dan Lena benci itu.

“Keputusasaan dan harapan adalah hal sama. Dua sisi harapan yang sama yang takkan pernah menjadi kenyataan. Satu-satunya perbedaan adalah caramu menyebutnya.”

“…”

Meski begitu. Menyerah karena tahu mimpimu takkan menjadi kenyataan jika duduk diam dan menunggu takdir merenggutmu …. Atau bertarung melawan takdir dan menangis di depan cahaya sekarat, walau kau tahu mimpi itu takkan terwujud. Hal-hal itu berbeda. Namun pria ini tidak tahu perbedaannya.

Ah, jadi ini. Ini … ini namanya keputusasaan.

“… saya mohon pamit, Komodor Karlstahl.”

Ω

 

Skuadron Spearhead dan Lena sama-sama menerima pemberitahuan misi Pengintaian Khusus di satu waktu, dan mereka dengan sungguh-sungguh memulai persiapannya. Menerima dan mengatur perlengkapan yang diberikan Republik.

Mengamankan persediaan yang mereka perlukan dari pangkalan itu sendiri. Memilih Scavenger yang akan menangani persediaannya. Inspeksi rumit Juggernaut yang tidak bisa lagi mendapat perawatan khusus begitu misi dimulai. Menyelesaikan urusan terakhir yang wajib diselesaikan bagi para Prosesor yang takkan kembali.

Semua tugas ini diringkas dalam dokumen yang harus diisi oleh kapten regu—Shin—dan memastikan hasilnya diterima. Aldrecht mengambil alih persiapan dan pemuatan persediaan, seperti biasa, dan dia berdiri di sudut hanggar yang jauh lebih kosong, memastikan wadahnya sudah benar-benar diisi.

“Perbekalan, paket energi, amunisi, dan suku cadang semuanya dalam jumlah yang diminta. Oh, dan karena kapten punya kebiasaan mempilot kek orang sinting, kami pun memastikan tambahan ekstra komponen kaki di rig-mu. Kau bisa melakukan perbaikan sederhana, bukan?”

 “Ya. Lagian, sering aku rusak.”

“Jangan bicara kek gitu padaku, dasar bocah ingusan …! Cuma ada sisa satu rig untukmu. Jangan menggila, paham?”

Suara tebal awak itu melirih sungguh-sungguh, tetapi Shin mengangkat bahu belaka. Bahkan di hadapan kata-kata tulus tersebut, Shin tidak dapat membuat janji apa pun. Bertarung sekuat tenaga melawan Legion adalah kucinya saat mempilot Juggernaut.

Aldrecht tersenyum sedih.

“Ini kali terakhir. Berbohong takkan membunuhmu, tahu? Paling tidak, dengarkan aku sekali saja seumur hidupmu.”

“Maaf.”

“Cih, sumpah, bocah, kau beneran merepotkan …”

Aldrecht mendesah sedih, hening menyelimuti mereka. Shin barangkali tidak merasa tak nyaman, tapi Aldrecht butuh waktu sejenak untuk menggaruk rambut putihnya sebelum melanjutkan.

“… Shin. Sesudah aku selesai memuat ini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Bisa panggil anak-anak lain ke sini saat aku selesai?”

Shin berkedip kaget dan melirik kacamata hitam Aldrecht. Shin kelihatannya seakan ingin menanyakan alasannya, tapi nampaknya, Para-RAID-nya aktif, dan dia terdiam.

“Kapten Nouzen …”

“Mayor.”

Tangan Shin memberi isyarat bahwa percakapannya akan dilanjutkan nanti, Aldrecht mengangguk dan berbalik pergi.

“Aku menerima pemberitahuan tentang misi Pengintaian Khusus.”

“Kami pun menerimanya. Persiapan berjalan sesuai jadwal. Apa terjadi sesuatu?”

Berbeda dengan nada serius Lena, cara bicara Shin ibarat dia telah diperintahkan untuk pergi menuju medan perang biasa. Mendengar suaranya yang tenang, Lena menggigit bibir.

“Aku minta maaf. Aku tidak dapat meyakinkan mereka untuk membatalkan perintahnya …”

Sejenak kemudian, Lena menggigit bibir dan terdiam. Tidak bisa menahan diri lagi, dia membuka mulut dan berbicara.

“Tolong larilah. Kau tidak wajib mengikuti perintah absurd ini.”

Lena merasa benar-benar menyedihkan total. Dia tidak mampu membatalkan operasi keterlaluan ini, satu-satunya hal yang ditinggalkannya hanyalah saran tak bertanggung jawab ini. Tetapi respon Shin tenang dan tak gentar. Sekalipun pengutaraannya berbentuk pertanyaan, responnya adalah penolakan langsung.

“Lari ke mana?”

“…”

Lena tahu ini. Tidak ada tempat untuk lari. Biar mereka lari pun, takkan selamat. Sekelompok orang tanpa bantuan tidak sanggup menghasilkan makanan untuk hidup. Karena manusia tidak bisa hidup sendirilah orang-orang datang bersama dan membentuk desa-desa, kota-kota, dan negeri-negeri. Sistem persis sama yang diciptakan untuk membangun dan mengembangkan kehidupan kini tengah membunuh mereka. Amarah mendalam terhadap sesuatu yang Lena tak tahu cara mendefinisikannya berasal dari ketakutannya, Lena memarahi Shin, didorong emosi tersebut.

“Kenapa?! Kenapa kau selalu sangat …?!”

Kesabarannya yang terlampau tenang menerima kematian tidak masuk akal ini membuat Lena marah. Shin bak orang berdosa yang menerima hukuman mati, tetapi dia tidak melakukan apa-apa hingga pantas mendapatkannya!

“Karena itu tidak pantas dibenci. Suatu hari kelak semua orang mati. Kami tidak mengutuk orang lain karena kematian mendatangi kami sedikit lebih cepat.”

“Tapi itu tidak betul! Mereka membunuhmu, dan kau tahu itu! Mereka mencuri masa depan dan harapanmu, saat ini mereka dengan kejamnya datang mengambil nyawamu, dan kau bilang tidak pantas mengutuk mereka karenanya?!”

Hampir seluruh omelan dan teriakannya serba air mata, lantas Shin menahan lidah sejenak. Ketika Shin merespon, Lena dapat merasakan senyum samar dan masam pada suaranya.

“Mayor. Kami takkan mati di sana.”

Tekad tanpa penyesalan dan kasih sayang, entah bagaimana seperti perasaan lega.

“Kami selalu terjebak dan dihabisi di sini, dan itu akhirnya berakhir. Kami pada akhirnya bisa pergi ke tempat yang ingin kami tuju, berjalan menyusuri jalan yang dipilih. Kami akhirnya terbebas. Jadi tolong, jangan menghinanya.”

Kepala Lena menunduk sedih. Tapi itu bukanlah kebebasan …. Kebebasan artinya bebas pergi ke mana pun dan menjadi apa pun yang diinginkan, selama tidak melanggar hak orang lain atau hukum. Atau jika tidak ada, sekurang-kurangnya diperbolehkan mengharapkan hal-hal itu—hal-hal yang selayaknya menjadi hak seseorang. Sekiranya yang mereka harapkan hanyalah kematian hari esok serta jalan yang menuntun mereka hingga hari ini, maka mereka tidak bebas. Itu sama sekali bukan kebebasan. Bukan.

“Kalau begitu … kalau tidak, jangan bertarung. Kau tahu Legion di mana, kan? Jadi maju sambil menghindari pertempuran harusnya—”

“Itu tidak bisa. Kendatipun aku tahu posisi mereka, kami takkan bisa lolos dari patroli tanpa ketahuan. Satu-satunya cara kami maju adalah dengan bertarung melawannya …. Dan kami mengetahuinya dari awal.”

Shin jelas, walau rasanya samar, tersenyum seraya mengatakannya. Seakan-akan ingin menyampaikan keinginannya—bukan mengetahui, tapi menginginkan—ini dari awal. Tidak bisa mengendalikan emosinya, Lena memejamkan mata.

“Kau ingin membunuh kakakmu yang telah diambil alih Legion … kan?”

Hening sesaat. Kemudian, Shin menghela napas kesal.

“… kenapa kau selalu tahu hal-hal yang sebaiknya tak kau ketahui …?”

“Aku tahu saja. Lagipula …”

Lena tahu saat Shin bilang dia mencari-cari Rei meski sudah mati. Shin mencarinya kapan pun membicarakan Gembala distrik pertama. Setiap kalinya, Shin menampakkan senyum dingin kejam serupa. Shin sendiri mungkin tidak menyadarinya, sebagaimana Lena yang tidak selalu sadar akan raut wajahnya. Boleh jadi perasaan di hati terdalam Shin telah berkhianat di waktu-waktu yang paling tak dia duga. Emosi itu yang bagaikan teror dan kebencian, obsesi serta tekanan, layaknya bilah gila, kejam nan dingin yang siap ia tikam ke dirinya sendiri.

Emosi ini bukanlah harapan. Seandainya punya nama, maka kebalikannya.

“Kalau benar, maka semakin jelas untuk tidak bertarung. Kendati dia Legion, membunuh kakakmu itu—”

“Dia adalah Gembala. Misalkan aku tidak membunuhnya, kami takkan bisa maju.”

Nada suaranya dingin dan keras. Itu pertama kali Lena mendengar suara Shin jengkel.

“Kapten …”

“Jika mengkomandoi kami terlalu sulit, kau bisa berhenti Beresonansi dengan kami … Raiden dan Kaie sudah berkali-kali mengatakannya.”

Ketajamannya mencekat napas Lena. Tersadar Shin membiarkan emosi menguasainya, Shin menarik napas dalam-dalam kemudian mengulang tingkah tak peduli seperti sedang berbisnis tatkala Lena baru saja ditunjuk sebagai Handler.

“… Mayor. Kami tidak memerlukan komandomu lagi.”

“Itu—”

“Biar aku ubah ucapanku. Aku tidak ingin kau mendengar kata-kata terakhir kakakku.”

Kutukan itu. Kebencian itu. Shin tak ingin melukiskan gambar kakaknya yang tersenyum sambil mengulurkan tangan kepada Lena.

“…”

“Dan satu hal lagi. Aku tidak bisa mendengar suara-suara Legion yang dulu berada di luar perbatasan timur.”

Shin mengatakannya ibarat lupa mengasih laporan. Bisa jadi caranya menutupi sesuatu yang ingin dia sampaikan.

“Barangkali itu batasan dari yang sanggup kudengar, tapi boleh jadi seseorang masih hidup di luar sana. Barangkali seseorang akan datang membantu sebelum Republik jatuh … jika aku membunuh Gembala, Legion akan kacau sementara waktu. Jadi sampai saat itu saja aku bisa mengulur waktu untukmu, hingga saat itu … kau mesti bertahan hidup, Mayor.”

Suaranya menjauhkan Lena, terdengar tanpa perasaan, tetapi kata-kata yang nyaris serasa bagai doa untuk kesejahteraannya membuat Lena mengepalkan tinju.

Ω

 

Haruto mati sewaktu hari itu mereka menghadapi serangan mendadak. Itu juga operasi pertaman tanpa komando Lena dari awal sampai selesai.

Berikutnya tibalah hari misi Pengintaian Khusus. Mereka mengendarai Juggernaut mereka, monitor manyala dan penuh urutan aktivasi serta hasil pemeriksaan program. Raiden mengeluh ketika melihat jumlah unit kawan di monitor sekundernya.

“Hanya lima, ya? Mulai kangen Haruto sekarang …”

Andai dia hidup dua hari lebih lama, dia bisa bergabung dalam perjalanan kecil menyenangkan ini. Theo mendesau berat dari sisi lain Resonansi.

“Jadi sampai akhir, mayor tidak masuk untuk terakhir kalinya.”

“Yah, aku heran. Tidak kusangka kau merindukannya, Theo.”

“Bukan itu, bego …. Tapi tetap saja.”

Theo sedikit memiringkan kepala.

“Kurasa menyesal tidak berbicara dengannya untuk yang terakhir kalinya.”

“Dia sudah bersama kita selama ini. Paling tidak kita mesti mengucapkan selamat tinggal. Baiknya.”

“Yap, kau paham, Anju. Kek, tak apalah dia tidak di sini, tapi jika iya, bagusnya bisa mengucapkan selamat tinggal.”

“Tidak berarti lagi. Kita terus menyuruhnya untuk tak terlibat, dan akhirnya kesampaian.”

Terlepas dari perkataannya, Kurena kedengaran agak kesal. Mendengar Theo dan Anju tertawa terkekeh-kekeh, dia membentak mereka.

Raiden mendesau, menatap kanopi. Yap, benar memang …. Dia tak menyangka Lena akan betulan berhenti Beresonansi setelah semua yang terjadi. Dia pikir Lena bukan tipe penakut sekarang, setelah semuanya …. Nah, dia mungkin merenung dan tidak kuat menghadap mereka karena rasa bersalah bodohnya. Tentu ada beberapa hal yang ingin Raiden sampaikan sebelum mereka pergi …. Namun bila tidak kesampaian, biarlah.

Urutan pemeriksaan akhir selesai. Perintis diterima. Layar berkedip hidup, menampilkan punggung kru pemeliharaan yang mundur. Kepala Raiden menunduk mengutarakan terima kasihnya ke barak bobrok dan kru pemeliharaan yang telah membantu selama enam bulan terakhir. Mereka mungkin tidak melihatnya, tapi tetap harus dia lakukan.

Kaki-kaki Fido dihubungkan kontainer-kontainer berisi muatan amunisi, persediaan, dan kebutuhan hidup selama satu bulan untuk lima orang, Scavenger berdiri di belakang kelompok pengintai mirip kelabang kebesaran.

Itulah tanda persiapan terakhir mereka. Seketika pergi menuju misi, nama-nama mereka akan dihapus dari daftar militer, dan catatan data mesin akan dibuang. Catatan Resonansi Sensorik—tautan kepada Handler—juga akan dihapus sore itu. Misalkan mereka Beresonansi dengan Republik, meriam pencegat akan menembak mereka. Mereka harus maju sejauh mungkin ke wilayah musuh, meski ganjarannya mengorbankan nyawa.

Walau masa depan suram itu menatap wajahnya, hati Raiden mengejutkannya santai. Dia sudah siap menghadapinya semenjak ditunjuk ke skuadron ini. Daiya dulu masih ada, baru enam orang. Keenamnya naik transportasi yang membawa mereka ke pos baru, di sanalah mereka bertemu Kaie, Haruto, dan Kino.

Foto diri untuk berkas personel. Setiap kali suatu regu direorganisasi kembali, foto para anggotanya mesti diperbarui, dan mereka berdiri berbari dengan punggung menghadap dinding untuk mengukur tinggi masing-masing, semuanya memegang papan yang tertulis nomor personelnya. Mirip foto resmi. Foto-foto itu dihilangkan ketika sebuah skuadron dibubarkan, lantas malam ini, foto-fotonya akan disingkirkan. Potret mereka yang takkan pernah digunakan untuk pemakaman yang tak akan terjadi, akan dibakar malamnya. Juga gambar lain yang diambil prajurit takutan baik hati …? Siapa tahu berapa lama gambar itu akan bertahan.

Mereka semua memperbarui sumpah malam itu, bahwasanya tak peduli separah apa mereka diperlakukan seperti babi, mereka takkan membiarkan pihak penindas puas bertingkah layaknya babi. Bahwa mereka akan bertarung sampai tetes darah terakhir, Biarpun hanya satu orang yang bertahan.

Ini yang terbaik. Pada akhirnya, lima orang tersisa. Raiden menyeringai, merasa ini sama sekali tidak buruk, dan perhatiannya otomatis menuju Undertaker yang berdiri di garis depan. Tanda Pribadi kerangka tanpa kepala itu membawa sekop. Tandanya mewakili Reaper mereka, orang yang memimpin sejauh ini—orang yang membimbing mereka menuju pintu maut dan mungkin melangkahinya, membawa 576 kuburan alumunium rekan-rekan mereka yang gugur.

Dia merasa mata merah Shin terbuka seraya berkata dengan sungguh-sungguh:

“… ayo.”

Tergerak suara samar itu, Shin terbangun dari fase siaga.

Dia datang. Dia masih jauh, namun mendekat.

Shin sudah lama mencari-carinya dan sekarang akhirnya menemukannya lagi. Orang yang dia tunggu-tunggu akan menemuinya …. Ketidaksabaran Shin membara bak lapar, bak nafsu.

Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus menyambutnya. Dan kali ini, pasti …

Suara hantu yang selalu bisa didengarnya kian keras ketika mereka mulai bergerak menghampiri. Legion bergerak dalam satu kesatuan, bagaikan gelombang pasang tirani yang menyapu daratan, perlahan-lahan melonjak naik ke hadapan mereka. Eintagsfliege yang pertama kali dikerahkan seperti kawanan perak halus, menyebar menjadi filamen yang mencekik langit, menghabisi matahari.

“… Shin.”

“Ya.”

Shin menjawab singkat bisikan parau Raiden. Mereka berada di jalur tabrakan. Mereka mencoba mengubah arah, tetapi barisan depan unit musuh bergerak sesuai perubahannya. Itu masuk akal … apabila Shin bisa mendengar suara-suara Legion, secara logis, kebalikannya juga bisa.

Memperhitungkan topografinya, Shin mengubah arah ke medan terbaik untuk berhadap-hadapan. Semisal mereka mesti bertarung melawan legion, mereka mestinya memilih medan yang memberikan keunggulan.

Layar mereka penuh titik-titik. Kode yang mengartikan keberadaan unit musuh. Jumlah titik-titik setiap detiknya bertambah, dan jalur di titik interseksi mereka menyala putih. Mereka berbelok di sekitar keliman bukit yang menghalangi bidang penglihatan, mendapati diri berada di depan rumpun pohon. Tempat ini berbatasan dengan hutan kayu, sepasukan besar Legion membentang sejauh mata memandang, berbaring menunggu mereka.

Unit-unit Ameise tipe Pengintai berdiri di garis depan. Dua kilometer di belakangnya adalah unit tipe Tank lapis baja, Löwe, serta tipe Dragoon, Grauwolf. Beberapa kilometer di belakangnya lagi adalah gelombang kedua unit lapis baja sama, mereka hanya bisa melihat sepertiga jumlah di belakangnya lagi. Jauh di belakang mungkin membentang kemah tipe Penembak Jarak Jauh, Skorpion. Pasukan ini kemungkinan berisi semua Legion di distrik pertama.

Di baris depan, maju mendekati mereka dengan tenang adalah pasukan Ameise yang menunggunya, tipe Tank Berat—Dinosauria. Tingginya empat meter dan beratnya dua kali lipat Löwe, rangka tubuh besarnya ditutupi lapis baja besar nan tebal. Sama menakutkannya dengan benteng raksasa, ukuran sangat besarnya didukung delapan kaki yang memberi mobilitas menakutkan. Turet 155 mm serta persenjataan sekunder, meriam koaksial3 75 mm, keduanya berbelok ke arah Juggernaut, kesannya tambahan senapan mesin berat 57 mm tambahan yang terpasang di Juggernaut kelihatan seperti mainan dibanding milik Dinosauria.

Tanpa mendengarnya pun sudah jelas bahwa pasukan ini dipimpin Gembala. Ia mengerahkan pasukannya ke tempat ini, semata-mata bukan karena tempat geraknya lurus, tetapi karena memang sengaja menunggu untuk menantang Juggernaut. Ia telah mempertimbangkan situasi dan menganalisis langkah lawan, kemampuan kognisi yang mustahil dimiliki Domba biasa. Dan Gembala ini yang senantiasa mengintai di kedalaman distrik pertama pun …

“… Shin …”

Seolah-olah berkehendak menghapus keraguan, Shin mampu mendengar suara lirih itu, suara yang dia ingat jelas. Suaranya sama, menuturkan kalimat terakhir sama yang Shin dengar kala dia masih hidup.

Suara ini tak henti-henti memanggilnya.

Shin tersenyum sedikit. Akhirnya keluar … Akhirnya, menunjukkan wajahmu kepadaku.

Seringai Shin nampak dingin, tajam, ganas. Layaknya pedang. Layaknya kegilaan.

“Akhirnya ketemu …. Kakak.”

Catatan Kaki:

  1. Dewan Ketahanan Nasional (disingkat Wantannas) merupakan lembaga pemerintah yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
  2. Hubungan masyarakat, atau sering disingkat humas adalah praktik mengelola penyebaran informasi antara individu atau organisasi dan masyarakat. Humas dapat mencakup sebuah organisasi atau individu yang mendapatkan eksposur ke khalayak mereka menggunakan topik kepentingan publik dan berita yang tidak memerlukan pembayaran langsung. Tujuan dari hubungan masyarakat oleh perusahaan sering untuk membujuk masyarakat, investor, mitra, karyawan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mempertahankan sudut pandang tertentu tentang hal itu, kepemimpinannya, produk, atau keputusan politik. Kegiatan umum termasuk berbicara di konferensi, memenangkan penghargaan industri, bekerja sama dengan pers, dan komunikasi karyawan. Sebagai sebuah profesi seorang Humas bertanggung jawab untuk memberikan informasi, mendidik, meyakinkan, meraih simpati, dan membangkitkan ketertarikan masyarakat akan sesuatu atau membuat masyarakat mengerti dan menerima sebuah situasi.
  3. Dudukan koaksial dipasang di samping atau di atas senjata utama dan dengan demikian menunjuk ke arah umum yang sama dengan persenjataan utama, bergantung pada kemampuan senjata tuan rumah untuk berputar untuk mengubah sudut busur. Istilah koaksial adalah sesuatu yang keliru karena pengaturannya sesungguhnya merupakan paraksial (yaitu sumbu paralel, bukan sumbu yang sama), meskipun untuk tujuan balistik, kedua sumbu berarti sama dalam istilah praktis. Hampir semua tank tempur utama dan sebagian besar kendaraan tempur infanteri memiliki senapan mesin koaksial yang dipasang untuk menembak sepanjang sumbu paralel pada senjata utama. Senjata koaksial biasanya ditujukan dengan menggunakan kontrol senjata utama. Biasanya digunakan untuk menyerang sasaran infantri atau lunak lainnya di mana penggunaan tembakan dari senjata utama akan berbahaya, tidak efektif atau boros.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments